TIMES CILACAP, CILACAP – Tanggal 29 April 2025 menjadi hari yang tak biasa di Alun-Alun Cilacap. Ribuan pasang mata menyaksikan lenggak-lenggok gerak tubuh ratusan penari dari berbagai sanggar yang membaur dalam harmoni gerakan dan irama.
Sebuah peristiwa budaya tak sekadar menjadi tontonan, tetapi berubah menjadi pernyataan: bahwa di tengah tantangan zaman, budaya masih punya rumah dan Cilacap adalah salah satunya.
Acara bertajuk “Cilacap Menari” ini digelar oleh Pemerintah Kabupaten Cilacap melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sebagai bagian dari peringatan Hari Tari Sedunia 2025. Lebih dari sekadar tari, Selama 12 jam penuh, dari pagi hingga malam, ruang publik utama kota ini berubah menjadi panggung terbuka yang sarat makna dan ekspresi.
Logo kebanggaan daerah kabupaten Cilacap.(FOTO: Dok. Pemkab Cilacap)
Dibuka dengan parade para penari dan pemusik dari sembilan sanggar seni lokal, acara ini langsung menyedot perhatian warga. Tak hanya menyajikan hiburan, namun juga menyuguhkan pesan kuat tentang pentingnya pelestarian seni dan budaya di tengah gempuran budaya populer global.
Sumbowo, Asisten Administrasi Umum Sekda Cilacap, membuka acara dengan pidato yang menggarisbawahi esensi tarian sebagai bahasa universal. “Tari bukan sekadar gerak yang indah, namun merupakan cermin peradaban dan sarana penyampaian nilai-nilai luhur dari generasi ke generasi,” ucapnya.
Ia juga menegaskan bahwa pelestarian seni tidak bisa hanya menjadi tugas pemerintah, tetapi harus menjadi gerakan bersama, terutama menyasar generasi muda.
Sementara menurut Ahmad Fatoni, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas P dan K Kabupaten Cilacap, Cilacap Menari adalah puncak dari serangkaian kegiatan budaya dalam rangka Hari Jadi Kabupaten Cilacap ke-169.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas P dan K Kabupaten Cilacap, Ahmad Fatoni, menyebut kegiatan ini juga merupakan rangkaian Hari Jadi Kabupaten Cilacap Ke-169.(FOTO: Dok. Kominfo Cilacap)
Dimulai dengan pertunjukan tradisional seperti Ebeg, Sintren, dan Wayang Kulit di Cipari (19 April), serta Lengger dan Campursari di Banjarwaru (28 April malam), acara ini mengintegrasikan berbagai bentuk ekspresi budaya dalam satu bingkai: kebanggaan atas jati diri Cilacap.
“Ini bentuk konkret bagaimana seni dan budaya lokal kita hidup, berkembang, dan diberdayakan bersama masyarakat,” kata Fatoni.
Yang membuat acara ini istimewa bukan hanya durasinya yang panjang, melainkan keragaman penampil yang terlibat. Dari Barongsai Naga Selatan yang menyatukan unsur budaya Tionghoa, hingga Lasamba Group yang memadukan alat musik tradisional dan kontemporer, tiap penampilan menawarkan warna dan karakter unik yang memperkaya khazanah budaya Cilacap.
Ada juga kelompok-kelompok yang telah lama membina tari tradisional seperti PST Giyan Lakshita dan Padepokan Klapa Pitu, hingga sanggar muda seperti Sanggar Wijayakusuma dan Sang Penabuh yang menunjukkan bagaimana tradisi bisa diwariskan dengan pendekatan modern.
Dengan latar Alun-Alun Cilacap yang ramai, Cilacap Menari bukan hanya tentang kesenian. Ia menjadi ruang temu antara warga dan warisan mereka, menjadikan ruang publik sebagai tempat yang tidak hanya hidup oleh aktivitas ekonomi, tetapi juga oleh ekspresi budaya.
Kehadiran masyarakat yang memadati lokasi hingga malam menandakan bahwa kebutuhan akan ruang berekspresi budaya masih tinggi. Dalam waktu 12 jam, Cilacap menunjukkan bahwa seni bukan barang antik, melainkan napas kolektif yang menghidupkan jiwa kota.
Meski sudah berlalu, Cilacap Menari memberi warisan yang penting untuk dikenang: bahwa pelestarian budaya adalah kerja panjang yang menuntut konsistensi, kolaborasi, dan cinta terhadap akar.
Dan di tahun-tahun mendatang, harapan masyarakat adalah agar acara ini tidak hanya menjadi peringatan tahunan, tetapi menjadi gerakan yang terus menyala. Karena seperti yang dikatakan Sumbowo, tari adalah bahasa jiwa, dan jiwa suatu daerah akan tetap hidup, selama ada yang bersedia menjaga tariannya tetap menari. (D)
Pewarta | : Sutrisno |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |